25 November 2008

CERPEN

KESEPIAN

Seorang laki-laki tua bernama Muhhamad, tinggal sendirian di sebuah rumah yang cukup mewah dengan berbagai macam peralatan elektronik. Rumah yang mewah itu tampak seperti rumah kosong dengan rumput hijau yang tinggi di halaman rumah dan debu-debu yang melekat di setiap sisi rumah. Kakek Muhhamad tidak pandai mengurus rumahnya sendiri, karena usianya yang tua dan tubuhnya yang sudah renta. Kek Muh, panggilan akrabnya menyadari bahwa ia membutuhkan seorang pendamping hidup, yang dapat mengurusnya dan memberinya keturunan.

Kek Muh pun menikah dengan seorang wanita yang bernama Warhanah. Usia Kek Muh dengan wanita itu sangat jauh berbeda. Namun, Ibu Warhanah nama sapaannya berusaha untuk menyesuaikan diri dengan Kek Muh. Sikap Kek Muh yang keras, selalu memaksakan kehendaknya sendiri kepada istrinya. Istrinya akan mendapat cemoohan yang tidak sopan jika tidak menuruti apa keinginannya. Hal itu membuat Bu Warhanah semakin tegar menjalani hidup.

Bertahun-tahun Bu Warhanah menahan rasa kesal, amarah selama mendampingi Kek Muh. Setiap hari selalu ada yang menjadi konflik diantara mereka. Sifat Kek Muh yang pelit, tidak akan membiarkan sepeser uang pun terpakai bukan untuk keperluannya sendiri menjadi penyebab utama konflik mereka. Bu Warhanah selalu mengalami kekurangan baik lahir maupun batin. Walaupun uang Kek Muh melimpah di bank, ia tidak akan menggunakan uang itu dengan foya-foya, mengingat kini ia tidak dapat lagi mencari nafkah. Ia selalu mengontrol pengeluarannya. Ia berusaha untuk menggunakan uang hanya Rp5000,- rupiah per hari.

Pagi hari Bu Warhanah meminta uang belanja kepada Kek Muh layaknya seorang istri lainnya.

”Pagi Mas hari ini mau masak apa?” tanya Bu Warhanah

”Pagi juga, terserah yang penting enak dan layak makan.” jawab Kek Muh dengan sinis.

”Bagaimana kalo ikan goreng atau ayam goreng atau ...”

”Sudah ku bilangkan terserah yang penting enak!” bentak kek Muh

”Maksud saya menanyakan lauk hari ini biar Mas memberikan uang belanja yang cukup, sesuai dengan lauk yang Mas inginkan.”jelas Bu Warhanah

”Uang belanja yang cukup? Maksud kamu?”tanya Kek Muh

”Iya Mas, kan harga bahan pokok setiap lauk beda-beda. Kalo ayam goreng seperempat kilo harganya Rp 6000,- rupiah, ikan laut Rp 5000,- rupiah”

”Apa? Aku hanya akan memberi kamu tiap hari Rp 5000,- rupiah, terserah akan kamu apakan uang itu, mau beli ayam goreng, ikan goreng, terserah! yang pasti hanya Rp 5000,- rupiah tiap hari”jawab Kek Muh dengan nada yang tinggi.

”Mas uang Rp 5000,- rupiah sekarang ini tidak bisa buat beli bahan pokok”

”Terserah!”

Berjam-jam Bu Warhanah memikirkan mau beli apa dengan uang Rp 5000,- rupiah itu, untuk makan ia dan suaminya selama 24 jam, padahal satu hari setiap orang perlu makan tiga kali. Akhirnya ia mendapatkan ide bagaimana kalau setiap orang dalam rumah tangganya hanya makan dua kali sehari, berarti uang Rp 5000,- rupiah itu harus dapat memenuhi waktu makan selama empat kali dalam sehari. Ia juga mengatur waktu yang tepat untuk makan. Waktu makan pertama pada jam 10.00 dan waktu makan yang kedua pada jam 19.00. Ia hanya dapat membeli nasi bungkus seharga Rp 1000,- rupiah.

Entahlah sampai kapan ia makan nasi bungkus selama hidup bersama dengan Kek Muh. Hingga suatu hari Kek Muh bertanya kepada istrinya dengan kasar.

”Istriku sampai kapan kau memberiku nasi bungkus, apakah tidak ada makanan selain ini? Aku sudah bosan.”

”Hanya nasi bungkus itu yang bisa ku beli dengan uang Rp 5000,- rupiah yang kau berikan pada ku tiap hari.”

”Maksudmu, akulah yang salah iya?”

”Terserah apa kata mu, aku berusaha berpikir apa yang bisa aku beli dengan uang Rp 5000,- rupiah, untuk bisa mengobati rasa lapar, tapi kau malah tidak terima dengan makanan itu.”

Tubuh Kek Muh semakin kurus, badannya yang tak tahan dengan hembusan angin, membuatnya jarang keluar dari rumahnya. Sifatnya yang pelit itu, membuat ia dan istrinya hidup menderita. Hartanya yang berlimpah tidak dapat memberikannya jaminan kehidupan yang bahagia.

Tak lama kemudian Kek Muh jatuh sakit, yang mengharuskannya untuk rawat inap di rumah sakit umum. Ia tidak sadarkan diri selama lima hari. Istrinya pun sangat kebingungan menanggung biaya rumah sakit. Selama suaminya tak sadar, ia tidak dapat izin untuk mengambil uang di bank untuk membayar biaya rumah sakit. Perasaan Bu Warhanah mulai lega setelah melihat Kek Muh sadarkan diri.

”Mas, Mas ... jawab Mas.”tanya Bu Warhanah dengan penuh kecemasan.

”Istriku aku dimana, apa yang terjadi pada ku?” tanya Kek Muh

”Kau di rumah sakit, tubuh mu lemas. Kau harus banyak istirahat di sini.”

”Sudah berapa hari aku dirawat di sini?”

”Lima hari.”

”Bagaimana dengan biaya rumah sakit?”

”Iya, aku mohon izin Mas untuk mengambil uang di bank untuk membayar biaya rumah sakit.”

”Iya, silahkan ambil secukupnya untuk membayar biaya perawatan aku selama tujuh hari di sini.”

”Tujuh hari? Tapi kita belum tahu kondisi Mas sudah sehat atau belum.”

”Tak apa, aku bisa ambil rawat jalan di rumah.”

”Tapi hasilnya jauh lebih baik rawat inap di rumah sakit, Mas.”

”Kita harus hemat uang!”

”Baiklah terserah Mas.”

Setelah tujuh hari dirawat di rumah sakit, Kek Muh bersama istrinya, Bu Warhanah kembali ke rumahnya. Mengetahui sakitnya Kek Muh, ibu Bu Warhanah alias mertua Kek Muh, berusaha datang ke rumah Kek Muh. Ibu Bu Warhanah, Bu Mainah bermaksud meminta Kek Muh mengatasnamakan rumahnya untuk Bu Warhanah, mengingat kini kondisi Kek Muh yang sakit-sakitan. Setidaknya setelah Kek Muh meninggal, Bu Warhanah mempunyai jaminan tempat tinggal. Mendengar permintaan dari mertuanya Kek Muh pun naik darah.

”Apa maksud Anda meminta saya menandatangani surat ini?”tanya Kek Muh dengan penuh kemarahan

”Aku hanya ingin hidup anakku terjamin. Ia harus punya tempat tinggal sendiri.” jawab Bu Mainah

”Aku, suaminya masih hidup dan sedang berbicara dengan Anda. Apakah Anda tidak punya otak berani memintakan surat wasiat.” bentak Kek Muh

”Aku hanya membantu Anda untuk membayar kewajiban Anda sebagai seorang suami kepada istri Anda. Selama ini Anda tidak pernah menafkahinya.

Pantas saja kalian tidak dikaruniai anak oleh Tuhan, apa jadinya nanti kalau Anda mempunyai anak, apakah Anda ikhlas membiayai hidupnya, kasehatannya , memberikan gizi yang cukup, memberikannya canda tawa, membiayai pendidikannya, dll.

“Apa katamu! Sudah! Aku tidak ingin ada keributan di rumah ini. Sekarang ku mohon Anda keluar dari rumah ku sekarang juga.”

”Menantu macam apa kamu ini. Berani mengusir mertuanya sendiri.”

”Keluar, cepat keluar!”

”Sudahlah Ma, keluar saja. Soal tempat tinggal saya masih punya tempat tinggal, suamiku masih hidup dan aku wajib mendampinginya.” kata Bu Warhanah

”Suami, suami macam apa Dia. Tak pernah memberikanmu kebahagiaan. Baiklah Mama akan pergi tapi kamu anakku harus ikut bersama ku. Kita hidup bersama dan hidup mu akan lebih bahagia bersama Mama nak.”

”Tapi aku harus mengabdi pada suamiku. Kini ia sedang sakit Ma, aku tak bisa meninggalkannya sendiri. Ma.... tolong jangan menambah beban pikiran Hanah.” pinta Bu Warhanah

”Justru itu sayang Mama akan berusaha membantu meringankan beban kamu, kamu harus pergi meninggalkan laki-laki tak berdaya itu. Laki-laki yang tak punya nurani membiarkan istrinya menderita.”

”Hanah bahagia tinggal di sini, Hanah juga ikhlas merawat suami Hanah. Mama tidak perlu mengkhawatirkan Hanah.”

”Baiklah anakku aku memberikanmu dua pilihan. Pertama ikut bersama Mama dan tinggalkan suamimu, atau kau lebih memilih laki-laki renta itu dan jangan pernah anggap aku sebagai Mama. Aku juga akan melupakanmu kalau kau pernah Mama kandung selama sembilan bulan.”

”Mama, Hanah sayang Mama, tapi aku juga tidak bisa meninggalkan suamiku dalam keadaan sakit.”

”Aku sudah memberimu dua pilihan keputusan ada di tanganmu.” Kata Bu Mainah

”Baiklah, Mama lah yang telah mengandungku, mendidikku, mengasuhku, melindungiku, merawatku dari kecil hingga aku dewasa. Tak ada pilihan lain selain ikut dengan Mama.” kata Bu Warhanah dengan nada yang rendah.

”Kau mengambil keputusan yang tepat anakku. Cepat bereskan pakaianmu dan pergi dari sini menuju rumah kita yang penuh dengan kehangatan kasih sayang.” Kata Bu Mainah

”Terserah, silahkan saja bereskan semua milikmu bawa pergi dan jangan biarkan satu pun tertinggal di sini aku tak ingin mengingatmu lagi.” bentak Kek Muh

”Maafkan aku suamiku, aku tak ingin jadi anak durhaka pada orang tua.”jelas Bu Warhanah

”Sudah, sekarang kalian angkat kaki dari rumah ini.” kata Kek Muh dengan penuh rasa kesal.

”Tak ada orang yang akan mengurusmu, mendampingimu hidup, jika kau masih bersifat pelit. Berpikirlah apakah harta mu bisa merawatmu di saat kau sedang sakit? Selamat tinggal menantuku.” kata Bu Mainah sebagai ucapan selamat tinggal kepada menantunya.

Kini kek Muh tinggal sendirian di rumah mewahnya. Tak ada yang merawatnya, membersihkan rumahnya bahkan mencucikan bajunya. Kehidupannya kembali terulang seperti dulu. Kesendirian, kesepian dan keheningan yang selalu menemaninya di rumah mewahnya. Seringkali ia mendengarkan musik untuk menghibur diri.

Tegal, 14 November 2008

Metty Meriyani

XII IPA 1/ 25

0 komentar: